![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTvLEXfqwho05LK7gL7XVEMeySrNrz3Bn3tLa9vuUGfTkRz3hFh881bbYIYnGWRmDrbVIy529lbqaAvc6A_3u9e1PdvpRe4GrOP_uGV5OXwlFwfTOHaNlZ5z1_8vhf8Hs0G39fy7K88NHm/s320/Foto(060).jpg)
Dalam Program seratus hari pemerintahan SBY-Budiono, di sektor pendidikan, beberapa klaim keberhasilan yang disampaikan oleh Mendiknas antara lain kesuksesan pengadaan internet di 18.358 sekolah sebagian besar tersambung di Jawa Timur sebanyak 4.805 sekolah sedangkan di Papua Barat dan Maluku Utara belum dijangkau karena kekurangan sarana dan prasarana. Program yang lain adalah pemberian beasiswa kepada siswa dan mahasiswa yang tidak mampu.
Beasiswa ini menjangkau 3 juta siswa dan mahasiswa dengan be-sar anggaran 1,5 trilliun. Beasiswa tersebut kemudian dibagikan kepada 1.796.800 siswa SD (Rp 677,261 M), 751.193 siswa SMP (Rp 413.156 M), 248.124 siswa SMA (RP 193,537 M) dan 305.535 siswa SMK (Rp 251,484 M) dan 211.967 mahasiswa (Rp 635.901 M). program bidik misi men-ganggarkan Rp 200 M untuk 20.000 mahasiswa kurang mampu. Sedangkan alokasi untuk BOS naiknya tidakterlalu signifikan, yaitu dengan unit cost BOS per tahun untuk SD kabu-paten Rp 397 ribu, SD kota Rp 400 ribu, SMP kabupaten Rp 570 ribu dan SMP kota 575 ribu.
Pertanyaannya adalah apakah program 100 hari Mendiknas itu berguna untuk rakyat? Atau mampu menyelesaikan persoalan pokok pendidikan yang berada dalam cengkeraman komersialisasi dan privatisasi? Dari 200.000 sekolah tingkat SD, SMP, SMA di Indonesia baru 18.358 seko-lah yang mendapatkan akses internet, maka 182.500 sekolah belum menda-patkan akses sama sekali. Padahal sekarang rasio penggunaan komputer di sekolah-sekolah adalah 1:2.000. Artinya jika ditargetkan rasio komputer terhadap anak didik adalah 1:20 maksimal, maka akan lebih banyak lagi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengejar target tersebut.
Pertanyaan yang lebih mendalam yang perlu diajukan adalah apakah dengan adanya akses internet akan menjamin peningkatan mutu pendidikan dan mempermudah akses rakyat untuk mendapatkan pendidikan? Siapa yang kemudian paling diuntungkan dengan adanya proyek pemasangan internet tersebut ? Sementara lebih dari puluhan ribu sekolah di Indonesia rusak dan hampir ambruk. Sekolah-sekolah tersebut justru lebih membutuhkan untuk memperbaiki papan tulis dan dinding sekolahnya dari pada mengurusi penyambungan akses internet.
Progam beasiswa yang diberi-kan kepada 3 juta siswa dan mahasiswa yang menghabiskan dana 1,5 triliun rupiah tidak mampu menyelesaikan persoalan angka putus sekolah dan angka tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi akibat biaya pendidikan yang semakin lama semakin tinggi. Setidaknya setiap tahun ada 1,72 juta siswa SD yang tidak mampu meneruskan pendidikan setingkat SMP dan setidaknya ada 1,17 juta siswa SMP yang tidak mampu melanjutkan pendidikan setingkat SMA/SMK. Angka ini belum dihitung angka putus sekolah. Angka tersebut pun akan lebih besar lagi jika diban-ingkan jumlah usia kuliah dengan jumlah seluruh mahasiswa yang ada di Indonesia tahun akademik 2009 karena hanya 4,5 juta dari 25 juta usia kuliah yang sanggup meneruskan ke jenjang PT. Jumlah mahasiswa-mahasiswa yang terjaring dalam Pro-gram Bidik Misi pun tidak sebanding dengan angka DO yang hampir menembus angka 20% dari total mahasiswa sejumlah 4 juta.
Dana BOS yang diberikan ibarat hanya menggarami lautan ketidakmampuan rakyat untuk mendapatkan haknya atas pendidikan yang layak. Meskipun dana BOS sudah diberikan tetapi angka putus sekolah tetap naik secara signifikan. Jika tahun 2006 mencapai 9,7 juta, maka tahun berikutnya (2007) menembus 11,7 juta. Padahal program BOS sudah berjalan 4 tahun lebih.
Program pencabutan UU BHP tidak masuk dalam agenda program 100 hari Mendiknas, maka sekolah-sekolah dan PT-PT yang mempunyai modal kecil hingga tidak mampu menyediakan syarat-syarat secara ad-ministratif seperti ketentuan UU BHP hanya tinggal gulung tikar atau merger. Jumlahnya, tidak hanya pulu-han tetapi ada ribuan yang terancam. Sementara sekolah-sekolah dan PT-PT yang mempunyai cukup modal dan nama, hanya tinggal menaikkan tarif per unit biaya pendidikan. Saling berlomba-lomba menjaring siswa atau mahasiswa sebanyak mungkin dengan menawarkan fasilitas dengan harga-harga yang berbeda-beda. bagi yang kaya bisa masuk, yang miskin harus terhempas kalah dalam persaingan dan sedikit di antaranya harus mengu-rus persyaratan-persyaratan rumit yang harus dipenuhi untuk mendapatkan beasiswa.
Tren kenaikan biaya pendidikan tidak hanya terjadi di perguruan tinggi (di mana sudah bukan menjadi rahasia lagi ada berbagai jalur masuk yang disediakan oleh PT dengan harga yang bervariatif hingga mencapai ratusan juta rupiah), tetapi juga terjadi di sekolah-sekolah bahkan pendidikan anak usia dini. Sekolah sudah dibeda-bedakan dalam konsep bertaraf nasional dan internasional. Jika sudah mampu mencapai taraf interna-sional, dia tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah dan dianggap sebagai proyek percontohan kemandirian sekolah dalam menyelenggara-kan pendidikan. Dengan kata lain, lepasnya tanggung jawab negara atas pendidikan untuk rakyat adalah tujuan utama penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan dan keti-dakmmapuan anak-anak petani dan buruh untuk menda-patkan pendidikan adalah harga yang harus dibayar untuk mewujudkan am-bisi pemerintah melakukan komer-sialisasi dan privatisasi pendidikan.
Skema makin mahalnya biaya pendidikan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Bagi negara-negara imperialisme, Indonesia adalah pasar yang paling strategis untuk menjajakan komoditas pendidikan. Karena Indonesia memiliki jumlah Penduduk Usia Sekolah (PUS) 102,6 juta, sedangkan untuk penduduk usia pendidikan tinggi saja (19-24 tahun) berjumlah 24,8 juta sedangkan angka pertisipasi PT baru sekitar 4 juta.
Sejak berdirinya WTO di luar sistem PBB tahun 1995, yang dikomandoi oleh AS, Inggris, Australia dan New Zealand, Kesepakatan Umum tentang Perdagangan dan Tarif (GATT), Kesepakatan Umum tentang Perdagangan Jasa (GATS) dan Kesepakatan tentang Kepemilikikan Hak Intelektual yang berkaitan dengan Perdagangan (TRIPS) kemudian dibuat dan disepakati.
Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani kesepakatan GATS, Indonesia di“desak” untuk membuka dan meliberalisasi bidang pendidikan kepada penyedia jasa dari luar negeri dengan alasan untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Dengan adanya Perpres No 77 tahun 2007 yang menetapkan 25 bidang usaha yang tertutup dan 291 bidang yang terbuka untuk penanaman modal dalam dan luar negeri dengan atau tanpa persyaratan, termasuk di antaranya adalah “bidang usaha” pendidikan dasar, menengah dan PT, maka terbukalah liberalisasi pendidikan yang berdampak pada ko-mersialisasi dan privatisasi pendidikan. Negara bukan lagi pemangku kewajiban untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa…”. WTO juga telah menetapkan ada 4 cara atau modus perdagangan jasa pendidikan yaitu, 1) Cross-border supply, 2) Consumption abroad, 3) Comercial Presence, dan 4) Presence of Natural Persons. Sama dengan yang diterapkan di Indonesia sekarang ini. Dan UU BHP adalah blue print-nya skema liberalisasi pendidikan di Indonesia.
Skema pemahalan pendidikan inipun tidak berbanding lurus dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh negara. Setiap tahun jumlah pengangguran terdidik se-makin bertambah. Masuknya jasa pendidikan dari luar negeri ke Indone-
sia bukan pure untuk memajukan sektor pendidikan dan membawa misi kemanusiaan, tetapi lebih untuk menjajakan pendidikannya. Syarat-syarat memajukan teknologi dalam negeri hingga mendorong industrialisasi nasional juga tidak akan pernah diberikan. Mengingat misi WTO adalah untuk mencari keuntungan dan menimbulkan ketergantungan negara-negara berkembangan terhadap komoditasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar